DEFINISI PECINTA ALAM
Hasil kesepakatan rapat pleno
kongres 2 – th 2002, FK KBPA BR di Gn Manglayang
Setelah ….
berdiskusi ketat selama 3 hari 3 malam, di komisi D, dari pagi sampai
subuh hari. Lalu definisi Pecinta Alam itu keluar sudah. Sebuah tonggak
baru, yang sekaligus meningisi celah antara kode etik dan kelompok PA.
Sebelumnya hal ini bermasalah, karena kode etiknya sudah ada, namun
pelakunya tak jelas. Mirip kode etik kedokteran, tapi dokternya siapa
tidak tahu. Harus jelas dulu siapa itu dokter, yang pasti bukan
therapist, bukan dukun, bukan orang-pinter, bukan masseur, dll. Setelah
jelas siapa dan bagaimana itu dokter, baru disusun kode etik nya.
Jikapun ada definisi, pasti bikinan orang lain, seperti lembaga /
instansi / badan negara. Menurut dephut Pecinta alam adalah …., menurut
dikbud , menurut anu ..anu dan anu. Kita habis didefinisikan orang lain,
yang jangan kata ngerti dan faham, bahkan kenal juga tidak.
Sedangkan menurut kami ….
Bunyinya : “ Pecinta Alam adalah sekelompok manusia, yang bertakwa pada
Tuhan Yang Maha Esa, terdidik dan terlatih, serta bertanggung-jawab
untuk menjaga dan memelihara Alam “.
Penjabaran sederhana, serta konsekwensi logisnya sbb :
1. SEKELOMPOK MANUSIA .
Dalam pengertian sebuah organisasi, dan bukan individu, melainkan
kumpulan dari individu, yang disatukan oleh idealiasasi dan pemahaman
yang sama. Kelompok ini mewakili sebuah tatanan nilai, atau sebuah
kultur. Seperti orang sunda, orang jawa, orang batak, dll. Dimana
konteks “orang” itu mencerminkan tatanan nilai kultural yang ada, dan
bukan sekedar berkumpul. Dengan adanya organisasi, maka kontrol /
pengendalian terhadap setiap individu anggota dapat diterapkan.
Diantaranya kesepakatan adanya kode etik yang harus sama sama dijaga,
mulai ditingkat organisasi atau komunitas secara keseluruhan, yaitu kode
etik Pecinta Alam hasil rumusan pada Gladian IV -1974 di Makassar.
Konsekwensi : kegiatan dan eksistensi yang bersifat individual, tak bisa masuk.
2. YANG BERTAKWA PADA TUHAN YANG MAHA ESA.
Dalam hal ini konsep takwa, bukan sebatas “menjauhi apa yang dilarang
Nya, dan melakukan apa yang disuruh Nya”, karena hal itu merupakan
outputnya. Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar, masuk pada tatanan yang
lebih dalam lagi. Takwa adalah sebuah kondisi ketika manusia selalu
memelihara hubungannya dengan Tuhan.
Dalam setiap konteks
“memelihara” maka konsekwensi logisnya adalah adanya usaha untuk
menguasai keilmuan, semata demi hubungan vertikalnya.
Memelihara
ayam butuh ilmu ayam, memelihara balita butuh ilmu ttg anak. Bahkan
memelihara perdamaian, kadang butuh ilmu perang dan senjata, sehingga
tercipta détente, atau orang enggan menyerang lebih dahulu karena takut
pada serangan balik. Contoh détente nuklir.
Konsekwensi : mereka yang enggan belajar keilmuan yang relevan, tidak masuk pada kriteria ini.
3. TERDIDIK DAN TERLATIH
Merupakan konsekwensi logis dari konsep Takwa diatas, yaitu mempelajari
keilmuan. Dilaksanakan melalui sebuah sistem pendidikan dasar dan
lanjutan yang bersifat sistemik. Meliputi aspek hardskills dan
softskills. Penyatuan integratif antar elemen-elemen , Knowledge,
Attitude, Skills , Habits, Tools dan Teamwork (KASH+2T). Semua itu
dipraktekan dengan pendekatan latihan. Baik dengan metoda simulasi
terbatas, untuk selanjutnya masuk kedalam metoda partisi patorik, atau
“going into the object it self “. Biasanya dalam bentuk pengembaraan ke
alam terbuka, atau mengikuti operasi2 SAR.
Konsekwensi : Mereka yang tidak mengikuti sistem pendidikan dan latihan berjenjang, tidak masuk pada kriteri ini.
4. BERTANGGUNG-JAWAB.
Tuhan tidak menciptakan kesia-siaan di alam semesta ini. Setiap
eksisten / maujud, pasti mempunyai fungsi dan peran fitrah yang sudah
ditetapkan pada dirinya. Seperti dalam konsep manajemen, yaitu adanya
wewenang dan pendelegasian. Kemudian imbal baliknya / feed-back berupa
laporan pertanggung-jawaban secara komprehensif, kepada pemegang
otoritas, kepada publik, dan tentu pada sang Khalik.
Konsekwensi : mereka yang enggan diberi tanggung jawab, tidak masuk pada kriteria ini.
5. UNTUK MENJAGA DAN MEMELIHARA.
Menjaga tak ubahnya dengan meronda untuk menjaga rumah2 di kampung.
Dilakukan disekeliling atau “diluar” rumah, umumnya oleh kaum lelaki.
Intinya adalah menggunakan pendekatan kelelakian (machoisme) dengan
metoda yang logis, rasional, reduksionis, parsiaslis dan analitatif.
Memelihara, layaknya ibu2 yang memelihara “didalam” rumah. Dengan
melalui pendekatan keperempuanan (feminisme), dengan metoda yang
mengedepankan aspek rasa, intuisi, integratif, sintesis dan ekologis.
Konsekwensi : mereka yang mengedepankan metoda “semau gue” , keluar dari kriteria ini.
6. ALAM.
Alam atau kosmos, diwilayah atom, molekul , sel , dll, bernama mikro
kosmos. Sebaliknya tata surya, galaksi, cluster galaksi, ruang angkasa,
dll. disebut makro kosmos. Manusia berada pada tataran yang ada ditengah
nya, yaitu pada tataran “the complex cosmos”. Artinya jika ada usaha
yang memisahkan antara manusia dan alam, jelas keliru. Manusia adalah
sub-domain dari domain semesta alam secara keseluruhan, yang sama sekali
tak dapat dipisahkan !!!.
Mencintai alam, harus mempunyai modal dan
model. Tanpa pemodelan yang jelas, maka mecintai alam akan kehilangan
arah tujuan. Pemodelan yang jelas itu adalah saat manusia mencintai
dirinya terlebih dahulu. Cinta diri, akan menjadi modal dan model, untuk
mencintai sesama, mencintai alam, bahkan mencintai Sang Pencipta.
Konsekwensi : mereka yang gemar untuk menganiaya diri, berlaku nekad dan
sembrono, bertindak fatalis, yang bisa menyebabkan dirinya teraniaya
dan celaka. Pergi dan beraktifitas sembarangan tanpa mengindahkan faktor
keselamatan / safety prosedur dan enggan untuk menambah keilmuan, jelas
tak masuk kedalam kriteria ini.
Saat satu saja kriteria ini dilanggar, maka konsep Pecinta Alam lepas dari dirinya.
Lalu seseorang disudut sana berseloroh ….
Waaah atuh kang, kalau begitu sempurna mah rasanya tak bakalan ada yang
berani meng”klaim” bahwa dirinya Pecinta Alam, sesosok mahluk yang
sempurna dan suci….
Kalau logika itu yang dipakai ….
Maka tak
ada seorangpun yang berani mengklaim agama yang dianutnya. Shalat saya
masih acak kadut, puasa saya masih belang betong, zakat saya masih kalau
sempet, naik haji apalagi belum punya duitnya ….
Tapi saya berani
mencantumkan di KTP, agama saya Islam, atau ada yang kristen, budha ,
hindu, dll. Bukan karena telah sempurna dalam beragama. Namun karena
sebuah pemahaman, bahwa yang dinilai bukan pada hasil akhir (result)
namun proses yang dijalaninya, dengan segenap tenaga dan kesungguhan
yang dimilkinya.
Agama saja berani di klaim,
Apalagi pecinta alam, yang sekedar alat untuk mencapai tujuan
Yaitu, menjadi orang yang bermanfaat bagi diri dan sekelilingnya
Seraya menjadi bagian dari solusi dan problem solver
Ketimbang sekedar menjadi trouble maker.
Definis Pecinta Alam ….
Butuh waktu 5 menit untuk membacanya
Butuh 3 jam untuk menerangkannya
Namun percayalah,
Butuh seumur hidup ……
Untuk memahami keseluruhannya.
Yat Lessie.
Catatan:
Definisi PA ini, menjadi sandaran falsafah untuk Latber SAR yang akan datang.